Inilah beberapa pemikiran Imam Syafi'i yang sangat terkenal. Sebagai seorang ulama yang kaya akan ilmu pengetahuan, beliau banyak menghasilkan buah pikiran.
Dalam hal ilmu kalam, sejatinya beliau tidak menyukainya karena ilmu kalam itu dibangun oleh kaum Muktazilah. Kaum ini banyak yang menyalahi jalan yang ditempuh oleh ulama salaf dalam mengungkapkan akidah dan al-Quran.
Sebagai seorang ahli fiqih dan hadits, tentu saja beliau lebih mengutamakan ittiba' dan menjauhi ibtida' sedang golongan Muktazilah mempelajarinya secara falsafah.
Tentang iman misalnya, Imam Syafi'i berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tashdiq dan amal, dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Maksudnya adalah iman bertambah apabila bertambah amalannya dan iman berkurang dengan berkurangnya amal.
Sedangkan mengenai imamah, Imam Syafi'i berpendapat bahwa imamah itu harus ada untuk menjaga kemaslahatan umat. Imamah harus dipegang oleh orang Quraisy dan dapat terjadi tanpa baiat. Dalam hal itu beliau tidak mensyaratkan khalifah itu harus dari golongan Hasyimiyah.
Selai itu, beliau berpendapat bahwa Abu Bakar lebih utama dari Ali. Kedudukan para Khulafaur Rasyidin menurut pendapatnya yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
Adapun Muawiyah menurut pendapatnya adalah golongan pemberontak. Hal ini dikemukakan karena ada golongan lain yang mempunyai pandangan lain pula seperti Syi'ah dan Khawarij.
Imam Syafi'i tentang Bid'ah
Imam Syafi'i merupakan seorang pembela sunnah dan termasuk ahli hadits yang mumpuni. Beliau sangat keras menentang perbuatan bid'ah dan ahli bid'ah.
Menurutnya, ada dua macam bid'ah, yaitu bid'ah terpuji yang sesuai dengan sunnah dan bid'ah tercela yang menyalahi sunnah.
Bid'ah yang tercela juga termasuk dalam menyalahi al-Quran, sunnah, ijmak, dan atsar. Sedangkan bid'ah terpuji merupakan sesuatu yang diadakan dari macam-macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikit pun dari sumber-sumber tersebut.
Imam Syafi'i menegaskan bahwa barang siapa yang menganggap baik suatu perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, maka berarti ia telah membuat syara' sendiri.
Pendirian Imam Syafi'i tentang Hukum Secara Qiyas
Beliau sangat hati-hati dan keras terhadap hukum secara qiyas. Menurutnya qiyas dalam soal-soal keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali jika memang dalam keadaan terpaksa. Berikut beberapa pandangan beliau tentang qiyas:
- Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata: "Saya pernah berkata kepada Imam Syafi'i tentang hal qiyas, maka beliau berkata: "Di kala keadaan darurat". Artinya bahwa beliau mengadakan hukum secara qiyas jika keadaan memaksa.
- Imam Syafi'i pernah berkata: "Saya tidak akan meninggalkan hadits Rasul karena akan memasukkan hukum qiyas. Dan tidak ada tempat bagi qiyas beserta Sunnah Rasulullah."
- Selanjutnya beliau berkata: "Tiap-tiap sesuatu yang menyalahi perintah Rasulullah tentulah jatuh dengan sendirinya dan tidak akan dapat berdiri tegak, juga qiyas tidak akan dapat tegak selama ada Sunnah."
Selain itu, hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah hukum-hukum yang tidak berhubungan dengan ibadah, yang pada pokoknya tidak dapat dipikirkan sebab-akibat. Atau tidak dapat dipahami bagaimana tujuan yang sebenarnya seperti masalah shalat dan puasa.
Oleh karena itu beliau berkata: "Tidak ada qiyas dalam hubungan ibadah karena sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan ibadah itu telah cukup sempurna dari al-Quran dan sunnah."
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cara Imam Syafi'i mengambil atau mendatangkan hukum qiyas itu adalah sebagai berikut:
- Hanya mengenai urusan keduniaan saja atau muamalat.
- Hanya yang hukumnya belum diketahui atau tidak dapat dijelaskan dari nash al-Quran atau hadits yang shahih.
- Cara beliau menggunakan qiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam ayat-ayat al-Quran dan dari hadits Nabi.
Oleh karenanya beliau tidak sembarangan mengambil hukum qiyas dan beliau merencanakan beberapa peraturan yang rapi bagi siapa saja yang hendak beristidlal (mengambil dalil) berdasarkan qiyas.
Nasihat tentang Taqlid
Mengenai taqlid, beliau juga sering memberi peringatan kepada para sahabat dan muridnya, yaitu mereka jangan mengikuti saja dalam masalah agama kepada perkataan beliau yang tidak disertai dengan keterangan atau alasan jelas dari al-Quran.
Di antara nasihat Imam Syafi'i tentang taqlid adalah saat beliau pernah berkata kepada Imam ar-Rabi': "Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaqlid kepadaku dalam tiap-tiap yang aku katakan. Dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena sesungguhnya ia adalah urusan agama."
Beliau juga pernah berkata: "Apabila engkau mendapatkan sunnah Rasulullah, maka hendaklah engkau mengikuti sunnah itu dan janganlah engkau berpaling kepada perkataan seseorang."
Posting Komentar