Dalam menetapkan suatu hukum, Imam Hanafi menggunakan berbagai metode. Beliau banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru. Bahkan beliau juga menetapkan suatu dasar hukum yang belum terjadi.
Adapun dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum antara lain:
- Al-Kitab
- As-Sunnah
- Aqwalush Shahabah
- Al-Qiyas
- Al-Istihsan
- Urf
Al-Kitab
Al-Kitab merupakan sumber pokok ajaran dalam agama Islam yang memberikan sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-kitab tersebut maupun kandungan-kandungan di dalamnya.
As-Sunnah
Dasar hukum ini berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab yang merinci suatu permasalahan yang masih umum. Siapa yang tidak berpegang kepada as-sunnah, maka orang tersebut tidak mengakui kerisalahan Alah yang beliau amanahkan kepada Rasul-Nya.
Aqwalush Shahabah (Perkataan Sahabat)
Para sahabat adalah orang yang membantu Nabi dalam menyampaikan risalah Allah. Mereka mengetahui sebab-sebab turunnya ayat (walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya). Para sahabat lama bergaul dengan Rasul sehingga mereka mengetahui bagaimana kaitan hadits Nabi dengan ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan tersebut.
Perkataan sahabat bahkan memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Menurut beliau, para sahabat adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasulullah sesudah generasinya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat dari kebenaran. Karenannya pendapat hukum mereka dapat diambil untuk diterapkan dalam kehidupan.
Ketetapan sahabat ada dua bentuk, yaitu ketentuan hukum yang ditetapkan dalam bentuk ijma' dan ketetapan hukum dalam bentuk fatwa. Ketentuan hukum dalam bentuk ijma' mengikat, sedangkan dalam bentuk fatwa tidak mengikat.
Abu Hanifah berpendapat bahwa ijma' itu masih dapat dilakukan dalam konteks penetapan hukum untuk persoalan hukum kontemporer yang dihadapi para mujtahid, sejauh ulama tersebut dapat menyatakan pendapatnya secara bersama-sama.
Al-Qiyas
Abu Hanifah juga berpegang kepada qiyas, apabila ternyata dalam al-Quran, sunnah, atau perkataan sahabat tidak beliau temukan jawaban. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat yang sama antara keduanya itu.
Al-Istihsan
Al-istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari qiyas. Penggunaan ar-ra'yu lebih menonjol lagi di sini. Istihsan menurut bahasa berarti "menganggap baik" atau "mencari yang baik". Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya.
Baca Juga: Mengenal Imam Hanafi Lebih Dekat
'Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila urusan tersebut tidak ada dalam al-Quran, sunnah, ijma', atau qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara qiyas). Beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada 'urf manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau memperhatikan 'urf manusia apabila tidak ada nash Kitab, nash Sunnah, Ijma', Qiyas, maupun Istihsan.
'Urf menurut bahasa berarti apa yang bisa dilakukan orang baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan.
Itulah beberapa penjelasan tentang dasar-dasar hukum yang ada dalam mazhab Imam Hanafi.
Posting Komentar